5 Bentuk Reaksi Publik Terhadap Pandemi Covid 19,Menuju Adaptasi Kebiasaan Baru.
Oleh :Asrorudin (Kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Hasyim Asy'ari Tebu Ireng Jombang,asal Desa Buwun Mas Sekotong Lombok Barat).
Secara sederhana maksud dari “Adaptasi Kebiasaan Baru” yang dinarasikan pemerintah adalah terbentuknya pola hidup masyarakat yang baru.
Di tengah pemaksimalan upaya-upaya yang ada, pada akhirnya pemerintah menggulirkan narasi “New Normal Life” yang kemudian direvisi menjadi “Adaptasi Kebiasaan Baru”.
Narasi tersebut dimulai pada sekitar akhir Bulan Mei 2020,yakni ketika Presiden Jokowi mengunjungi stasiun MRT di Jakarta dan salah satu pusat perbelanjaan di Bekasi. Presiden ingin masyarakat dapat kembali produktif ,namun tetap aman dari penularan COVID-19.
Secara sederhana maksud dari “Adaptasi Kebiasaan Baru” yang dinarasikan pemerintah adalah terbentuknya pola hidup masyarakat yang baru, di mana dalam setiap kegiatan, masyarakat harus memperhatikan protokol kesehatan yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan, seperti penggunaan masker, cuci tangan, menghindari kerumunan, dan jaga jarak.
Pesan presiden tersebut pada akhirnya ditindak lanjuti oleh beberapa pemerintah daerah, salah satunya adalah DKI Jakarta yang sudah memulai kegiatan perekonomiannya dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan COVID-19.
Sebenarnya kita dapat memahami narasi pemerintah tentang “Adaptasi Kebiasaan Baru”dengan memperhatikan fenomena-fenomena sejak pertama kali pandemi terjadi di Indonesia. Di mana Terdapat lima tahap bagaimana kita—masyarakat maupun pemerintah—bereaksi terhadap pandemi COVID-19.
Pertama, penolakan. Di awal kemunculannya, COVID-19 tidak begitu direspon secara serius. Misalnya ketika menteri kesehatan mengatakan bahwa penggunaan masker hanya untuk yang sakit atau penyakit ini dapat sembuh sendiri, sehingga kita tidak perlu panik. Kepanikan yang terjadi dianggap hanya ulah oknum-oknum tertentu.
Kedua, kemarahan. Ketika ternyata angka penularan terus meningkat bahkan sampai memakan korban jiwa, muncul tuduhan bahwa pemerintah tidak siap dalam mengantisipasi wabah. Bahkan dengan kecepatan akses informasi muncul pula anggapan bahwa ada konspirasi global di balik terjadinya wabah, apalagi didukung banyak asumsi dari publik figur seperti JRX SID, dan juga sang Bos Man Mardigu membuat asumsi liar soal pandemi Covid-19 yang dikaitkan dengan konspirasi Global semakin marak dan terus menggerus mindset masyarakat pada umumnya.
Ketiga, Tawar-menawar. Seiring berjalannya waktu ketika proses penularan masih terjadi dan korban jiwa bertambah, muncul narasi-narasi untuk meredakan ketegangan, seperti pernyataan bahwa tingkat kematiannya rendah atau wabah ini tidak seserius wabah-wabah sebelumnya misalnya SARS atau flu Spanyol, sehingga ada peluang untuk dapat melakukan pencegahan.
Keempat, Depresi. Ketika proses tawar-menawar dengan wabah terus berlangsung dengan berbagai macam kebijakan, di situasi yang lain kepasrahan justru muncul, khususnya bagi masyarakat kelas bawah yang hanya sekadar untuk bertahan hidup mereka mengalami kesulitan.
Kelima,Penerimaan. Pada akhirnya krisis yang terjadi akan diterima. Narasi untuk mewujudkan “Adaptasi Kebiasaan Baru”dapat diidentifikasi sebagai bentuk penerimaan atas pandemi, apalagi sebelumnya presiden telah mengajak masyarakat untuk dapat berdamai dengan pandemi.
Agar tetap langgeng, suatu sistem sosial harus dapat tetap menjaga kestabilannya, itulah yang harus dijaga ketika masyarakat pasca pandemi COVID-19 masuk dalam situasi “Adaptasi Kebiasaan Baru”. Terdapat dua cara yang dapat ditempuh.
Pertama, sosialisasi, yaitu penanaman nilai-norma secara intens dan konsisten kepada setiap anggota masyarakat. Konten nilai-norma tersebut dapat berupa protokol kesehatan COVID-19 maupun budaya pola hidup bersih dan sehat (PHBS).
Kedua, pengawasan sosial, yaitu pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan nilai-norma yang telah berlaku. Pengawasan yang dimaksud tidak harus bertumpu pada pemerintah dengan aparat penegak hukumnya, maupun pendekatan represif negara, justru yang lebih penting adalah pengawasan yang berbasis pada intimasi dan solidaritas sosial antar anggota masyarakat, sehingga yang timbul adalah kesadaran bukan keterpaksaan.
Sumber bacaan :
Zizek, Slavoj. 2020. Pandemic! COVID-19 Shakes the World. New York: OR Books.